
Harga cabai di berbagai pasar tradisional Jakarta kembali melonjak tajam. Kalangan pengusaha menilai lonjakan ini tidak hanya disebabkan oleh faktor cuaca, tapi juga tekanan dari sisi logistik, terutama sejak aturan Over Dimension Over Loading (ODOL) diterapkan.
Pantauan kumparan pada Jumat (20/6), harga cabai rawit merah di Pasar Minggu mencapai Rp 90 ribu per kilogram, cabai rawit hijau Rp 80 ribu, dan cabai keriting Rp 65 ribu.
Di Pasar Kramat Jati, harga sedikit lebih rendah namun tetap tinggi. Cabai rawit merah Rp 85 ribu per kg, cabai rawit hijau Rp 70 ribu, dan cabai merah keriting Rp 60 ribu per kg.
Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI), Abdul Hamid, menjelaskan bahwa kenaikan harga ini sudah diprediksi sejak awal Juni. Banyak pertanaman cabai rusak akibat serangan penyakit, hama, dan banjir.
“Untuk harga cabai rawit yang meroket kita sudah prediksi bahwa minggu ketiga bulan ini harga akan naik khusus CRM atau paling lambat minggu keempat atau akhir Juni disebabkan oleh banyak pertanaman yang rusak karena penyakit dan hama, selain itu banyak terkena banjir,” kata Abdul Hamid kepada kumparan, Minggu (22/6).

Menurutnya, lonjakan harga seharusnya bisa terjadi lebih awal. Namun pasokan dari Sulawesi Selatan sempat menahan laju kenaikan karena adanya panen yang menyuplai wilayah Kalimantan.
Selain persoalan cuaca dan gangguan produksi, Abdul Hamid menyoroti dampak aturan ODOL yang memperketat batas muatan truk barang. Menurutnya, kebijakan ini mendorong lonjakan harga karena biaya logistik menjadi jauh lebih mahal.
“ODOL tentu ini akan bermasalah karena muatan truk dibatasi sehingga ongkos persatuan kilogram akan naik, konsekuensinya harga harus naik bukan dari ongkos produksinya melainkan ongkos angkut, dan konsumen akhir harus menerima dengan harga mahal,” ujarnya.
Abdul Hamid menjabarkan simulasi beban biaya yang harus ditanggung pelaku usaha akibat aturan ODOL ini. Sebelumnya, satu truk bisa mengangkut hingga 6 ton dengan ongkos sekitar Rp 1,5 juta. Namun kini muatan dibatasi maksimal 3 ton, yang berarti biaya pengangkutan melonjak dua kali lipat.
“Jadi yang tadinya bisa 5,5 ton sampai 6 ton, itu sekarang nggak boleh sampai sejumlah itu, paling banyak 4 ton. Bahkan 3 ton. Artinya kalau misalnya 1 truk itu 1 kali jalan, ongkosnya Rp 1.500.000, berarti sekarang 1 kali jalan Rp 3.000.000,” ungkapnya.
Ia menekankan bahwa tanpa sosialisasi dan solusi bersama, dampak kebijakan ODOL justru memicu gangguan distribusi. Banyak pengemudi truk enggan beroperasi karena khawatir ditangkap atau ditahan. Akibatnya, pasokan ke pasar berkurang drastis.
“Orang belum berani jalan, karena belum jelas, ditangkep, ditahan, sehingga barang-barang yang ada di lapang kena ribut-ribut ini nggak terkirim, sehingga jumlah yang masuk di pasar sedikit,” ujarnya.
Tak hanya cabai, komoditas lain juga ikut terdampak. Ia mencontohkan harga sawi putih yang biasanya hanya Rp 5 ribu per kg, kini melonjak hingga Rp 20 ribu di pasar.
Abdul Hamid menuturkan bahwa sementara ini belum ada solusi konkret untuk wilayah distribusi utama seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat. Di Jawa Timur, kebijakan ODOL masih diberi kelonggaran secara terbatas, namun belum menjadi solusi nasional.